SEKILAS TENTANG KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD


      Kabupaten Kepulauan Talaud sebagai daerah otonom yang dimekarkan dari kabupaten Sangihe -Talaud berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2002, terletak antara 3o 38’ 00” – 5o 33’ 00” Lintang Utara dan 126o 38’ 00” – 127o 10’ 00” Bujur Timur, berada diantara dua pulau yaitu Pulau  Sulawesi dan Pulau Mindanau (Republik Philipina), sehingga kabupaten Kepulauan Talaud memiliki karakteristik yang berbeda dengan kabupaten/kota di Indonesia lainnya yaitu sebagai daerah perbatasan dan sebagai daerah kepulauan sekaligus tentunya  secara alamiah menjadi salah satu    “Beranda Depan”   NKRI  di kawasan Asia dan Pasifik.   Karakteristik seperti ini telah dilandasi dan dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, yang menyatakan bahwa Kabupaten Kepulauan Talaud adalah  Kabupaten Perbatasan antar Negara di Propinsi Sulawesi Utara.

Sebagai daerah kepulauan, kabupaten Kepulauan Talaud memiliki luas daerah bahari dengan luas wilayah lautnya sekitar 37.800 km2 , sedangkan panjang garis pantai 367,70 Km.
Kabupaten Kepulauan Talaud   merupakan bagian integral dari Provinsi Sulawesi Utara beribukota Melonguane yang berjarak sekitar 271 mil laut dari Ibukota Provinsi Sulawesi Utara yaitu Manado. Secara administratif Kabupaten Kepulauan Talaud terdiri dari 19  Kecamatan, 11  Kelurahan, dan 142 Desa. Luas wilayah keseluruhan Kabupaten Kepulauan Talaud yakni 39.051,02 Km2 dengan luas daratan 1.251,02 Km2  (3,20% dari luas keseluruhan darat dan laut),  dan luas lautan 37.800,00 Km2 (96,80% dari luas keseluruhan darat dan laut).
Sejak menjadi daerah otonom Kabupaten Kepulauan Talaud telah melakukan berbagai terobosan pembangunan dalam berbagai bidang seperti pembangunan infrastruktur, pemanfaatan sumberdaya alam, peningkatan sumber daya manusia, meningkatkan mutu dan sarana prasarana pendidikan serta meningkatkan pelayanan di bidang pemerintahan, kesehatan dan kemasyarakatan, dan yang tidak kalah pentingnya juga dibidang pariwisata. Kabupaten Kepulauan Talaud memiliki pulau – pulau yang tidak berpenghuni yang menyediakan suasana tersendiri dengan hamparan pasir putihnya sebagai tujuan pariwisata. Belum lagi budaya menangkap ikan dengan menggunakan janur yang diikatkan pada tali untuk mengarahkan atau membawah ikan – ikan tersebut ketempat yang telah ditentukan (daerah dangkal) kemudian ikan – ikan tersebut ditangkap, yang dikenal dengan sebutan mane’e untuk daerah Kakorotan atau manam’mi untuk daerah Miangas dan Maniu untuk daerah Karatung. Selain itu terdapat pula gua – gua alam yang menyimpan benda – benda kuno dan tengkorak manusia yang menambah sensasi tersendiri dan juga kita dapat menikmati satwa khas Talaud.

SEJARAH SINGKAT TENTANG TALAUD

Letak Geografis Talaud
Terletak diantara Pulau Mindanao (Filipina) dan Pulau Sulawesi
Dasar Hukum
Kabupaten Kepulauan Talaud terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2002 yang merupakan hasil pemekaran Kabupaten Sangihe dan Talaud.
Ibu Kota : Melonguane
Luas wilayah : 1.288,94 km2
Jumlah Penduduk : 91.067 jiwa
Kecamatan

Kepulauan Talaud adalah gugusan pulau-pulau yang berada di utara Indonesia dan berbatasan dengan Negara Filipina. Sebelah selatan berbatasan dengan laut maluku, laut Sulawesi disebelah barat, Samudera Pasifik ditimur yang terdiri dari 20 pulau yaitu pulau Karakelang (terbesar), Mangaran, Salibabu, Miangas, Marampit, Karatung, Kakorotan dan pulau – pulau tidak berpenghuni lainnya dengan Luas wilayah secara keseluruhan adalah 27.061,16 km2 yang terdiri dari dari daratan seluas 1.288,94 km2 dan lautan seluas 25.772,22 km2.
- Proses Terbentuknya Kepulauan Talaud
Kepulauan talaud terbentuk karena adanya pergesaran lempeng Halmahera dan lempeng sangihe. Kedua lempeng saling “bertabrakan” yang mengakibatkan lapisan permukaan bumi terangkat diatas permukaan laut. Hasil dari proses pangangkatan ini sejak zaman Pleistosen (1,6 juta-10.000) hingga zaman Holocen ditambah dengan kolonisasi oleh tumbuhan, binatang dan manusia serta interaksi diantaranya, terbentuklah Kepulauan talaud.
- Nama lain Talaud
Talaud atau taloda disebut juga dengan nama “Porodisa” atau Paradise yang berarti surga. Menurut cerita ketika bangsa Portugis datang pertama kali ke talaud mereka berkata “Paradise” karena dilihatnya talaud bagaikan surga, tapi penduduk lokal waktu itu mengucapkannya “porodisa” karena tidak dapat mendengar dan melafazkannya dengan baik dan juga tidak mengerti artinya.
Sedangkan Taloda berasal dari kata Talo dan Oda. Talo adalah nama orang yang berasal dari talaud sedangkan Oda adalah istrinya yang berasal dari pulau Mindanau (Filipina), Taloda menjadi nama dari keturunan mereka berdua.
- Asal-usul orang Talaud
Mengenai asal-usul Orang Talaud tidak dapat diketahui secara pasti, ada yang berpendapat bahwa orang talaud berasal dari Filipina karena mempunyai kemiripan bahasa dan warna kulit serta bentuk tubuh, ada yang menyebutkan bahwa suku talaud termasuk bangsa Melayu Polinesia yang merupakan bagian dari Austronesia. Berdasarkan penelitian, kepulauan talaud telah dihuni sekitar ± 6.000 tahun SM.
Kita juga dapat mengetahui asal-usul orang Talaud berdasarkan cerita rakyat, seperti yang disebutkan diatas Talo dan Oda adalah manusia pertama ditalaud. Cerita lain adalah Hikayat yang berjudul “Alamona Otaumata Ntaloda” (manusia pertama ditalaud).
Cerita lain juga mengatakan tentang asal usul orang talaud berasal dari Filipina selatan. Dikisahkan tiga orang yaitu Gumansalangi dan istrinya Kondawulaeng bersama Bawanulare berlayar ketimur. Ketika sampai di pulau Sangir, Gumansalangi dan istrinya Kondawulaeng tidak berlayar dan menetap disana, sedangkan Bawanulare tetap melanjutkan pelayaran sampai di Pulau Kabaruan.
- Kerajaan Di Talaud
Petunjuk ataupun bukti-bukti tentang kerajaan talud sangat sedikit, namun yang pasti di talaud telah berdiri kerajaan sejak jaman Majapahit. Dalam syair Prapanca pada kitab negarakartagama pada zaman gajah mada (1364), Talaud disebut sebgai udamakatrayadi atau udamakatraya.

Akses Dan Sumber Daya

Geliat pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi agaknya memang masih harus terus dipacu di wilayah ini. Meretas akses menjadi kata kunci pembangunan bumi Porodisa. Sayangnya, sejauh ini untuk masuk-keluar wilayah hanya dilakukan kapal-kapal perintis PT Pelabuhan Nasional Indonesia (Pelni) dengan rute Talaud-Sangihe-Manado. Itu pun dengan interval kunjungan yang terlalu lama. Di ibu kota Melonguane, misalnya, kapal hanya merapat dua-tiga hari sekali, sementara di Miangas hanya seminggu sekali. Bahkan, saat musim ombak kapal bisa tak merapat berminggu-minggu. Akibatnya, aktivitas perdagangan dengan kapal laut baru memadai untuk memasarkan hasil perkebunan utama seperti kopra,pala, cengkeh, dan vanili yang lebih tahan lama. Keberadaan bandara di Melonguane juga tampaknya baru sebatas simbol perintis. Kapasitas angkutnya hanya 40-60 orang seminggu sehingga selalu ada pembatalan keberangkatan bagi sejumlah penumpang yang hendak bepergian. Upaya memberdayakan daerah dengan menawarkan wisata keindahan laut serta acara adat seperti Mane’e (tradisi menangkap ikan) tampaknya juga akan berkejaran dengan kemampuan menyediakan listrik, air bersih, dan penginapan. Sejauh ini, sarana penunjang yang relatif lengkap baru ada di sekitar Melonguane, gugusan Pulau Karakelang. Padahal, aktivitas Mane’e berlokasi di gugusan pulau Nanusa yang jaraknya masih empat jam perjalanan laut. Di kawasan itu tak hanya sulit penginapan, listrik air bersih dan sarana komunikasi juga masih sangat terbatas. Persoalannya, membangun sarana infrastruktur amat mahal di wilayah ini. Sulitnya akses menyebabkan tingginya harga bahan bangunan. Bahkan, di atas kertas hanya pembangunan fisik di wilayah Papua yang mengalahkan mahalnya membangun bangunan fisik di Talaud.Gambaran sulitnya mengembangkan sarana dan infrastruktur penunjang pariwisata Talaud masih ditambah dengan sulitnya memperkuat sektor pertanian dan perikanan. Meski sebagian besar lapangan usaha masih didominasi pertanian, generasi muda Talaud cenderung beralih ke sektor publik menjadi pegawai negeri, polisi, atau tentara. Tahun 2006 tercatat ada 533 sarjana Talaud yang mencari kerja, namun tak sampai seperempatnya yang memperoleh pekerjaan.Meski sudah mulai ada lembaga pendidikan tinggi seperti Community College dan Universitas Terbuka, masih lebih banyak anak muda Talaud melanjutkan kuliah ke Manado atau kota lain. Setelah mencapai gelar sarjana, kabarnya hanya sebagian kecil yang mau kembali mencari kerja di Talaud. Itu pun lebih banyak mengincar sektor-sektor jasa. Di sisi lain, ada keengganan tenaga-tenaga dari orang di luar Talaud ditempatkan di daerah terpencil ini. Guru atau petugas kesehatan yang bukan orang lokal rata-rata tak sampai setahun bertahan, baik karena alasan keluarga maupun alasan ekonomi. Mungkin, pada akhirnya harus segera diantisipasi perubahan minat orang muda Talaud bekerja di daerahnya. Jangan sampai ribuan pencari kerja Talaud saat ini termangu-mangu menunggu lowongan, sementara lapangan kerja sektor pertanian dan perikanan justru kekurangan tenaga. Jangan sampai anak muda bumi Porodisa menjejak tanah yang terbelit ketertinggalan, menyia-nyiakan mimpi di sebuah paradise laut biru.

Porodisa Talaud

Panorama laut yang eksotik menjadi sambutan bagi siapa pun yang datang ke Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Kejenuhan menghabiskan waktu 17 jam naik kapal dari Bitung, Manado, seakan terhapus saat memandang bening dan birunya air laut Melonguane, ibu kota Kabupaten Kepulauan Talaud.

Dari atas perahu nelayan, meski kedalaman dasar pantai masih sekitar 10 meter, sudah begitu jelas terlihat terumbu karang dan kelebat ikan.
Pesona Pulau Sara yang terletak di seberang Melonguane tak kalah menggairahkan. Pulau ini memiliki pantai landai berpasir putih yang masih sangat bersih dan alami. Tak sedikit kawan dalam rombongan perjalanan yang menceburkan diri ke pantai, saking tak kuat menahan gemas melihat jernihnya air laut dan putihnya pantai. Semilir udara Talaud yang sangat bersih menyebabkan suhu udara tengah hari yang terik menjadi tak terasa.
   Keelokan laut dan pantai Talaud tampaknya memang layak dipromosikan menjadi unggulan wisata. Apalagi setelah wilayah tetangganya seperti Bunaken sudah banyak mengalami kerusakan terumbu karang. Sebutan "Porodisa" bagi wilayah ini, yang mungkin bisa menginspirasi menjadi sebuah paradise (surga), banyak dibenarkan oleh kecantikan alam Talaud. 

   Di pantai Melonguane, sepanjang malam puluhan anak muda berkelompok-kelompok menikmati semilir angin pantai sambil berkaraoke menyanyikan lagu-lagu tanah Sulawesi. Sebuah pemandangan menikmati hidup yang sangat inspiratif. Namun, sayang, di balik semua keunggulan daya tarik itu, ternyata Talaud masih berbelit problematik keterpencilan.
   Jauhnya jarak yang terentang oleh lautan menjadi salah satu mata rantai masalah keterpencilan bagi gugusan pulau di ujung laut Sulawesi ini. Diukur dengan garis lurus, jarak Manado-Melonguane (ibu kota kabupaten) mencapai sekitar 400 kilometer, atau kalau dihitung melalui jalur kapal laut mencapai 271 mil laut. Belum lagi ketika mengunjungi Pulau Miangas, jarak itu masih harus ditambah 129 mil laut sampai di perbatasan Indonesia-Filipina.
   Meski dari pengamatan, sepintas, keterpencilan tampak tak menyurutkan keceriaan masyarakat Talaud menikmati hari-hari mereka, namun gambaran kesederhanaan tetap terlihat dari kondisi rumah-rumah beratap seng dan dedaunan.
   Demikian pula, walaupun kondisi jalanan perkampungan relatif bersih dan tertata rapi, lalu lalang anak-anak kampung dan murid sekolah yang masih bertelanjang kaki menggambarkan kondisi kesejahteraan keluarga mereka.
   Memang berdasarkan data statistik wilayah ini, separuh dari 21.891 kepala keluarga (KK) masuk kategori miskin. Pengeluaran per kapita penduduk paling banyak hanya berada di kisaran Rp 100.000-Rp 300.000 per bulan. Padahal, hidup di kawasan ini lebih mahal daripada di daratan. Harga beras mencapai Rp 8.000 per kilogram dan bensin Rp 10.000 per liter.
   Meski untuk kebutuhan makan, menurut pengakuan mereka, tak ada warga yang sampai kelaparan, tentu sangat sulit mengembangkan kesejahteraan keluarga.
   Kenyataannya di beberapa pulau yang disinggahi, penduduk kebanyakan bermata pencarian petani merangkap nelayan. Alat melaut mereka pun rata-rata paling bagus hanya perahu bermotor tempel atau sekadar jukung. Tak tersedia sarana pengolahan ikan seperti cold storage, apalagi pelabuhan khusus perikanan.
   Data Badan Pusat Statistik tentang perolehan ikan hasil tangkapan nelayan tiga tahun terakhir menunjukkan, kenaikan jumlah tangkapan ikan berjalan sangat lambat.
   Sulitnya memasarkan hasil laut keluar wilayah, apalagi ekspor, merupakan salah satu faktor penghambat berkembangnya sektor perikanan wilayah ini. Malah di beberapa pulau paling terpencil, seperti Miangas, kebanyakan ikan yang diperoleh hanya dipakai tiap keluarga untuk keperluan makan sehari-hari.


SEKILAS TENTANG KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD

      Kabupaten Kepulauan Talaud sebagai daerah otonom yang dimekarkan dari kabupaten Sangihe -Talaud berdasarkan Undang-Undang No. 8 ...